PERMIRI: Sejarah Perminyakan Sumatera Selatan dan Awal Penamaan Daerah di Lubuklinggau
Minyak menjadi salah satu senjata strategis dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di bidang ekonomi dan persenjataan para pejuang Republik Indonesia di Sumatera Selatan yang terjadi antara tahun 1945-1949. Benar saja, dalam ofensif pasukan Jepang untuk menguasai Hindia Belanda (Indonesia), ada tiga kota yang terlebih dulu diserang, antara lain: Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942, Balikpapan pada tanggal 22 Januari 1942, dan Palembang pada tanggal 12 Februari 1942. Serangan-serangan itu dilakukan untuk menguasai ketiga kota yang menjadi pusat industri pengolahan minyak bumi, ini menandakan bahwa betapa penting dan strategisnya hasil tambang ini, baik sebagai penggerak transportasi modern di masa damai maupun sebagai penggerak tank, kapal, dan pesawat tempur di masa perang.
Seperti ditulis Feris Yuarsa dalam Mohamad Isa: Pejuang Kemerdekaan yang Visioner (2016), “Nilai strategis minyak bumi amat disadari para pemimpin Republik di Sumatera Selatan. Tak lama setelah terbentuknya pemerintahan sementara di Palembang, atas instruksi AK. Gani dibentuklah Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI) di bawah pimpinan Mohamad Isa” (hlm. 30). Pemerintahan sementara ini dinamakan Karesidenan Palembang, disebutkan Ruben Naelan dan Iskandar Gani dalam Dr. AK. Gani: Pejuang Berwawasan Sipil dan Militer (1990:56) bahwa “AK. Gani menyampaikan konsepsi pembentukan suatu pemerintahan peralihan sebagai pusat pemerintahan bangsa Indonesia pasca penjajahan, dimana konsepsi itu disetujui dalam rapat bersama para tokoh, AK. Gani dipilih menjadi kepala pemerintahan, sedangkan Mohamad Isa menjadi ketua urusan minyak dan tambang”.
Perusahaan minyak bumi pertama di bumi Indonesia ini menguasai kilang-kilang dan segenap sarana dan prasarana produksi NIAM (Nederlandsch Indie Aardolie Maatschappij) dan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), dua perusahaan minyak besar di zaman kolonial Belanda. Salah satu tugas utama Mohamad Isa sebagai Ketua Urusan Minyak dan Tambang serta Pemimpin PERMIRI adalah mengupayakan agar unit-unit pengilangan di Plaju ex BPM dan di Sungai Gerong ex NIAM dapat beroperasi kembali. Ini merupakan tugas berat, karena di tahun 1944, kedua kilang minyak ini sempat dibombardir Sekutu dalam serangan balik untuk memukul Jepang.
Agar minyak tetap mengalir meski instalasi di Plaju dan Sungai Gerong rusak, adalah dengan mendirikan kilang minyak mini di kawasan Kenten. Instalasi penyulingan berlokasi di Talang Kerikil ini beroperasi dengan pasokan bahan baku yang disadap dari pipa minyak bumi baku yang melalui kawasan itu. Di Kenten inilah, PERMIRI sebagai perusahaan minyak bumi pertama milik Indonesia itu resmi berdiri Tahun 1945. Upaya tersebut kemudian disusul dengan pembentukan PERMIRI Prabumulih yang dipimpin JM. Pattiasina dan PERMIRI Pendopo pimpinan Suntor, semua langsung dibawah pengendalian pucuk pimpinan Mohamad Isa. Ditambahkan oleh Rizka Fiana dalam Perkembangan Perminyakan di Sumatera Selatan Tahun 1945-1950 (2013), “dibentuknya PERMIRI dimaksudkan untuk mengendalikan para laskar minyak (para mantan buruh minyak) agar tidak terprovokasi terhadap Jepang. Mohamad Isa melakukan peran ekonomi yang tergolong sebagai kemampuan yang tepat utamanya dalam mengkoordinasi produksi komoditas minyak”, (hlm. 7).
Dengan segala keterbatasannya, kilang-kilang PERMIRI di Sumatera Selatan sukses memproses minyak mentah menjadi bensin, solar dan minyak tanah. Hasil penyulingan minyak bumi tidak saja dipakai untuk keperluan bahan bakar mesin-mesin perang. Emas hitam ini juga dimanfaatkan sebagai materi barter, alat tukar dengan segala materi yang dibutuhkan untuk mempertahankan NKRI. “Minyak biasanya dibarter dengan bahan makanan, terutama beras, jagung dan gaplek. Barter minyak yang biasanya dilakukan di Singapura adalah dengan kain blacu, seragam tentara, kain kelambu dan obat-obatan,” tulis Feris Yuarsa (hlm. 31).
Perdagangan barter ini sering diartikan sebagai penyelundupan dan acap kali disebut perdagangan ilegal. Di masa darurat perang seperti itu perdagangan barter sah-sah saja karena tujuannya untuk keperluan perjuangan mempertahankan eksistensi Republik Indonesia. Salah seorang yang cukup berjasa dalam perdagangan barter ini adalah pengusaha Tong Djoe. Atas perintah pimpinan Sumatera Selatan seperti AK. Gani dan Mohamad Isa, ia berkali-kali menyelundupkan aneka komoditi ke Singapura kemudian membawa masuk barang-barang kebutuhan Republik. Kepiawaian armadanya menerobos blokade laut angkatan laut Belanda patut dihargai, kapal-kapal cepatnya selalu mampu menghindari blokade tersebut.
Belum puas dengan kapasitas produksi kilang minyak di Plaju dan Sungai Gerong, kilang minyak ketiga menyusul dibangun di Kenali Asam, Jambi. Kilang pimpinan R. Sudarsono ini mampu menghasilkan avtur, bahan bakar pesawat terbang, disamping juga menghasilkan minyak tanah dan solar yang disalurkan melalui pipa dari Kenali Asam ke Plaju. “Tidak hanya itu, minyak hasil penyulingan di Kenali Asam tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen di Jambi, tetapi juga dikirim ke daerah lain seperti Lubuk Linggau, Bengkulu, Tapanuli, dan lain-lain,” tutur Budi Prihatna dalam Sejarah Awal Perminyakan Jambi (2018) pada m.kajanglako.com.
Setelah Belanda melakukan agresi militernya yang kedua tanggal 19 Desember 1948, Lubuk Linggau yang menjadi satu dari tiga kota utama yang menjadi sasaran serangan serentak Belanda bersama-sama dengan Yogyakarta dan Bukit Tinggi. Sejarawan Mestika Zed dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1997:171-172) memaparkan bahwa kepentingan Belanda menduduki Lubuk Linggau khususnya dilandasi pertimbangan ekonomi. Kota itu sudah lama disinyalir Belanda sebagai pumpunan minyak Palembang dan hasil-hasil perkebunan Sumatera Selatan yang kaya kemudian di salurkan ke Jambi dan dari sana sebagian terus ke Sumatera Barat dan sebagian lain ke Singapura. Perdagangan smokel, yang menerobos blokade laut Belanda untuk kepentingan biaya perjuangan Republik berkembang subur di daerah sekitar ini. Lagipula, Belanda sangat terganggu oleh kegigihan daerah ini dalam menggagalkan propaganda Belanda yang sebelumnya telah berhasil menarik daerah ini ke dalam orbit negara federal ciptaan Van Mook, Negara Sumatera Selatan.
Oleh karena itu, kota Palembang sudah dikuasai sejak Perang 5 Hari 5 Malam pada Januari 1947 mengakibatkan segala unsur militer mundur dari Kota Palembang menuju Lahat, maka PERMIRI pun turut memindahkan kantornya ke Prabumulih. Bersamaan dengan itu, Belanda yang berhasil menguasai Kota Palembang berusaha memperbaiki pengilangan minyak di Plaju yang dibumihanguskan oleh pejuang. Seiring dengan serangan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, PERMIRI kehilangan kontrol atas minyak-minyak utamanya. Apalagi misalnya, produksi kilang kecil di Prabumulih dan Pendopo yang menjadi pusat penyediaan bahan bakar pejuang turut dibumihanguskan pejuang agar tidak dimanfaatkan Belanda.
Walaupun banyak instalasi yang telah dibumihanguskan oleh para pejuang Indonesia, namun Belanda tetap mengusahakan perbaikan kembali, termasuk rehabilitasi lapangan dan kilang minyak, termasuk perbaikan sarana seperti instalasi penimbunan, sarana distribusi dan pengangkutan. Kebutuhan di daerah pendudukan Belanda dipenuhi dari kilang minyak. Pengangkutan minyak saat dikuasai Belanda dilakukan oleh KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) melalui laut menggunakan drum. Di darat dilakukan dengan kereta api milik maskapai SS (Staatsspoorwegen), serta mobil tangki minyak.
Sejak peristiwa Agresi Militer Belanda I itu, pasukan Republik di Sumatera Selatan memindahkan pusat pemerintahan sipil dan militernya di Lubuk Linggau. Seperti ditukil Berlian Susetyo dan Ravico dalam Sejarah Lubuklinggau dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan (2021), “selaku panglima Divisi VIII/Garuda (kemudian berubah menjadi SUBKOSS), Kolonel Maludin Simbolon memindahkan pasukan tentaranya ke Lubuk Linggau menjelang Clash I, disusul Residen Abdul Rozak sebagai tampu kepemimpinan Karesidenan Palembang selanjutnya, pergi menjauh dari Lahat menuju Lubuklinggau. Kemudian di akhir Desember 1947, giliran Mohamad Isa yang telah menjadi Gubernur Muda Sub Propinsi Sumatera Selatan menyusul ke Lubuk Linggau setelah diizinkan Belanda meninggalkan Palembang untuk bergabung dengan Kolonel Maludin Simbolon dan Residen Abdul Rozak. Namun Mohamad Isa memilih Curup sebagai ibukota sementara, namun kegiatan operasionalnya berada di Lubuk Linggau”.
Saat memimpin PERMIRI menjadi tantangan berarti bagi Mohamad Isa. Kendati buruh minyak dan siswa teknik minyak Plaju dapat mengoperasikan kembali kilang-kilang minyak yang rusak. Sosok JM. Pattiasina yang termasuk pemuda Republiken yang turut serta dalam sejarah perusahaan minyak Indonesia di awal-awal proklamasi, tidak lepas dari perannya yang merupakan orang minyak yang bekerja sebagai teknisi kilang minyak sejak masih di BPM di Plaju dan NIAM di Sungai Gerong masa Belanda dan Jepang. Dalam portonews.com (2021) diuraikan bahwa dalam masa perjuangan, JM. Pattiasina menyandang pangkat Letkol. Namun dalam Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa) Angkatan Perang tahun 1948, pangkat Pattiasina turun dua tingkat menjadi Kapten dalam masa perang gerilya di Sumatera Selatan. Laskar Minyak yang tergabung dalam PERMIRI juga terlibat aktif dalam perang gerilya. Setelah adanya integrasi laskar ke dalam tubuh TNI, Pattiasina beralih ke dinas militer yang merintis dan mendirikan Batalyon Genie di struktur Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS). Namun akibat serangan Belanda dalam Agresi Militer Kedua ini, PERMIRI terpaksa untuk kedua kalinya meninggalkan daerah operasi terakhirnya dan membubarkan diri tahun 1948. Kemudian kebijakan pemerintah RI untuk konsesi minyak Sumatera Selatan dikembalikan kepada perusahaan pemegang Shell dan Stanvac pada masa perjuangan kemerdekaan, maka sejak itu PERMIRI Sumatera Selatan dan Jambi hanya tinggal namanya saja.
Dalam perkembangannya, PERMIRI yang merupakan salah satu dari beberapa perusahaan minyak yang pernah ada di Sumatera Selatan memegang peranan penting dalam membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Peranan kilang minyak PERMIRI Plaju dan Sungai Gerong dalam mengolah minyak dan hasilnya digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Kendati demikian, minyak-minyak ini disalurkan ke berbagai daerah di Sumatera Selatan termasuk Lubuk Linggau. Akan tetapi, minyak yang ditampung di Lubuk Linggau ialah hasil dari olahan dari PERMIRI Sumatera Selatan dan Jambi kemudian disalurkan ke daerah Lubuk Linggau dan sekitarnya. Akhirnya, dusun tua Lubuk Linggau yang menjadi tempat penampungan minyak ini setelah masa kemerdekaan dikenal dengan PERMIRI, sekarang menjadi sebuah nama daerah (sekarang kelurahan) di Kota Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan.
Sumber foto: Info Lubuklinggau
Redaksi: Berlian Susetyo*
*Penulis kini aktif sebagai Kurator dan Staf Pelayanan dan Penyajian di Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya. Beberapa tulisannya telah dimuat dalam bentuk buku diantaranya: “Sejarah Lubuklinggau dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan” di tahun 2021 serta “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di tahun 2022.